Siapa dan Untuk Apa Diri kita
Islam mendefinisikan manusia sebagai makhluq ciptaan Allah, yang terdiri dari ruh dan jasad, dan dimuliakan dengan tugas (misi) ibadah dan khilafah di muka bumi.
Untuk misi itu pulalah, maka manusia dilengkapi dengan 3 (tiga) potensi yang memungkinkan ia bisa melaksanakan tugas-tugas dengan sempurna. Akan tetapi ketiga potensi tersebut akan tetap tinggal sebagai potensi jika manusia tidak berperan aktif untuk mengembangkannya. Masing-masing akan berkembang jika manusia mengisinya dengan pasokan-pasokan yang benar (haq), tepat-sesuai dan seimbang, maka barulah manusia akan tumbuh berkembang menjadi manusia seutuhnya dalam arti yang sesungguhnya sehingga mampu mengemban amanah (tugas) di muka bumi.
Proses Pengembangan Potensi Diri
1. Potensi Jasmani
Tubuh manusia, meliputi seluruh sel, jaringan dan organnya merupakan perangkat efektif manusia yang berbentuk materi. Sesuai dengan wujud kemateriannya, potensi jasmani ini hanya akan berkembang jika kepadanya diberikan pasokan dalam wujud materi juga. Adapun pasokan materi tersebut adalah makanan, minuman, vitamin dan mineral. Pasokan yang bersifat non-materi, sedikitpun tak dapat menggantikan kedudukannya. Perut kita yang lapar tak akan menjadi kenyang dengan membaca paket menu makanan yang lezat cita rasanya.
Dalam memberikan pasokan jasmani perlu diperhatikan materi-materi yang dapat menghambat pertumbuhan bahkan merusakkannya, seperti minuman keras, extacy, ganja, dsb (5:90)
2. Potensi Akal
Sesuai dengan kemampuannya, akal berfungsi untuk analisa-sintesa, memecahkan masalah, berpikir secara aritmatis maupun algoritmis dan sebagainya. Maka potensi akal manusia dapat berkembang jika kepadanya diberikan pasokan dalam bentuk : simbol, angka, fakta, informasi, konsep, teori, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Seseorang juga tidak dapat memiliki keahlian sarjana antariksa hanya dengan membeli ijazah aspal, tanpa mengikuti program pendidikannya. Seseorang juga tak dapat jadi genius dengan meminum Cerebrovit setiap hari, tanpa usaha belajar sama sekali.
Harus selektif juga terhadap teori-teori yang menyesatkan dan menimbulkan keresahan di masyarakat, seperti Komunisme, kapitalisme, dsb.
3. Potensi Ruhani
Karena pemegang tunggal lisensi ruh manusia adalah Allah (QS.Al Isra’(17):85), maka potensi ruhani manusia akan menjadi aktual jika kepadanya diberikan pasokan nilai dan norma yang bersumber dari Allah juga, yaitu Al Islam. Betapapun seseorang menuntut ilmunya jauh ke Chicago sana, namun jika guru-gurunya tidak memiliki nilai dan norma yang Islami, tapi nilai dan norma Yahudi, maka tetap saja sebagai ulama ia ibarat bunga kembang tak jadi. Betapapun seseorang menjadi santri di pesantren, tapi jika apa yang diajarkan disana hanya menekankan kemahiran ilmu alat seperti bahasa arab saja, maka tidak ubahnya ia ibarat Abu Jahal modern, yang pandai berbahasa arab tapi jauh dari nilai dan norma Islam. Tapi bukan suatu hal yang mustahil seseorang yang bersekolah di sekolah umum memiliki ruhani yang kaya, asal saja dia berusaha mempelajari agama lewat sanad (jalur) yang terpercaya.
Kendala Pengembangan Potensi Diri
Manusia bukanlah makhluk halus, tapi makhluk kasar (wujud) berbentuk materi. Hal ini menyebabkan manusia lebih mudah terikat dan terlibat dengan materi, sedikit berpikir, dan hampir-hampir tidak pernah bercermin untuk bathinnya. Secara tidak sadar semua ini membuat manusia tidak adil kepada dirinya sendiri. Dan manusia telah men-dholim-i dirinya. Untuk kebutuhan jasmaninya, misalnya makan siang di rumah, maka pagi-pagi telah pergi ke pasar, sesampainya di rumah membersihkan apa-apa yang dibelinya di pasar, memilih-milih, memotong-motong, menyiapkan bumbu, menyiapkan peralatan, memasaknya, menatanya di meja makan, baru kemudian disantap. Semua itu membutuhkan waktu berjam-jam.
Demikian juga dengan kebutuhan akalnya, seseorang belajar pada malam harinya, mempersiapkan buku, pakaian, sarapan dan sebagainya pada pagi harinya, baru kemudian berangkat sekolah. Terkadang belajar semalam suntuk tidak tidur untuk ujian besok pagi. Atau berbulan-bulan bertekun di belakang meja mempersiapkan ujian skripsi.
Tapi untuk kebutuhan ruhaninya manusia sering lupa. Jarang sekali seseorang mempersiapkan apa yang akan dibacanya nanti pada waktu shalat, saat berkomunikasi dengan Allah. Seolah-olah tak ada obrolan lain, setiap kali berjumpa dengan-Nya lewat shalat, selalu saja Qul Huwwallahu Ahad yang disampaikannya. Sering juga dalam suatu keluarga kakak-adik rebutan koran untuk membacanya, tapi sangat langka mereka rebutan Qur’an untuk dulu-duluan membacanya.
Bila membaca iklan-iklan tentang mode pakaian, resep masakan, berbagai kuis berhadiah dan sebangsanya di koran, maka dengan mudah seseorang mengikutinya. Tapi jika membaca iklan-iklan tentang pahala, petunjuk berpakaian dan lainnya dalam Qur’an, sulit sekali untuk melaksanakan.
Manusia memang aneh bin ajaib! Untuk menjadi Ahli Manajemen sekaligus Komputer manusia siap untuk menuntut ilmunya dan siap mempraktekannya. Manusia juga ingin menjadi ahli surga, tapi jangankan mengamalkannya untuk menuntut ilmunya saja enggan.
Nyatalah bagi kita, manusia lebih mementingkan aspek jasmani dan akal, tapi cenderung untuk mengabaikan aspek ruhani. Hal ini menimbulkan masalah yang sangat serius, karena semakin jauh kesenjangan antara aspek jasmani dan akal dengan aspek ruhani, maka akan semakin fatal akibat yang ditimbulkan.
Seseorang yang kenyang secara jasmani biasanya memperoleh status. Seseorang yang kenyang secara akal biasanya memperoleh posisi. Semakin kenyang jasmani dan akalnya, maka akan semakin tinggi status dan posisinya, serta akan semakin luas pengaruhnya. Terkadang pengaruhnya tidak hanya berlaku pada satu kelurahan atau satu kecamatan, bisa jadi satu negara atau satu benua. Jika keadaan ini dibarengi dengan keadaan ruhani yang lapar (tidak mengenal nilai dan norma Islam) maka kerusakan yang diakibatkannya tidak alang kepalang.